image favim.com edited by me |
Semua berawal sejak musim semi tahun lalu. Aku harus pindah
tempat ke Washington karena perceraian ayah dan ibu. Ibuku yang akan menikah
lagi dan aku menetap disini hanya bersama ayah. Sore itu aku pergi ke tempat
penyewaan kaset yang baru aku kunjungi tiga hari setelah kepindahanku dikota
ini. Aku mencari kaset yang aku inginkan, di toko itu sangat banyak sekali
kaset dan aku berharap aku bisa menemukannya.
Jariku menyusuri beberapa kaset dan berhenti di kaset yang
aku inginkan. Aku melihatnya. Tapi dengan gerakan cepat seseorang mengambilnya.
Aku melihat wajah pria itu. Pria yang mengambil kaset yang ingin aku pinjam. Tubuhnya
tinggi, ia mengenakan kaos abu-abu dengan mambawa tas gitar yang ada di
pundaknya. Dia hanya tersenyum singkat lalu berjalan melewatiku dengan
membenarkan tas gitarnya yang sedikit merosot. Aku baru tersadar ketika aku
mencari kaset itu lagi dan sepertinya kaset yang dibawa pria itu adalah stock
terakhir atau malah satu-satunya disini.
Aku segera berjalan menuju tempat peminjaman untuk
menanyakan kaset yang aku inginkan. “Apa masih ada kaset Whitney disini? Aku
ingin meminjamnya.” kataku sambil membenarkan posisi rambutku yang sedikit
menutupi wajah. Disampingku, pria tadi masih berada disana, ia melihatku. Ia
sepertinya sedang mendata kaset yang ia pinjam.
“Maaf, kami hanya memiliki 5 buah dan hari ini sudah tidak
ada lagi. Mungkin beberapa hari kedepan sudah ada yang menembalikan.” jawab
penjaga itu setelah megecek data yang ia punya. Mau bagaimana lagi, aku
terpaksa harus meminjam yang lainnya, aku sudah meluangkan waktuku sore ini
untuk mencari kaset itu dan aku tidak ingin waktuku terbuang sia-sia tanpa
membawa pulang kaset apapun. Aku akhirnya mencari kaset yang lainnya, walaupun
sebenarnya sedih sekali.
Setelah mendata apa yang aku pinjam aku berjalan ke luar.
Membuka pintu kaca itu lalu menuruni beberapa tangga. “Permisi.” aku dengar ada
seseorang yang sepertinya memanggilku. Aku menoleh ke arah kiri dan mendapati
pria tadi yang sepertinya belum pergi dari sana sejak tadi. Ia menghampiriku.
“Aku menunggumu,” katanya, aku mengernyitkan dahiku
bingung. Ia menyodorkan kaset yang tadi aku inginkan “Ini, aku akan
meminjamkannya padamu.” lanjutnya. Aku mantapnya “Tidak, kau saja. Aku bisa
meminjamkannya lain kali.” aku menolaknya meskipun sebenarnya aku sangat ingin
sekali.
“Tidak. Aku tadi melihatmu menginginkan kaset ini.”
katanya. Ia sepertinya merasa bersalah. Aku merasakan ia memegang tanganku dan
memberikan kaset itu. “Kau bisa mengembalikannya seminggu lagi. Aku selalu pergi
kesini setiap sabtu sore.” lanjutnya cepat, ia kemudian berbalik dan melangkah
pergi. Aku bahkan belum sempat berterima kasih padanya, ia sepertinya
terburu-buru.
***
Aku menyukai musik dan ayahku adalah seorang anggota pemain
orkestra. Ayah selalu sibuk dengan orkestranya, mungkin itu yang membuat ibu
bercerai dengan ayah. Ayah memasukkanku kesekolah musik yang ada di kota ini.
Sekolah musik itu masih satu sekolah dengan sekolahku yang baru. Di kelas musik
itu dibagi beberapa kelompok yang setiap kelompoknya hanya beranggotakan 10
orang dan aku berada di kelompok enam.
Hari rabu siang untuk pertama kalinya aku mengikuti kelas
musik, tak lupa aku membawa gitar pemberian ayah. Benar. Disana hanya ada
sembilan siswa dan sepuluh denganku. Yang mengajari kami musik adalah Miss
Jenny, katanya dia juga teman ayah.
Miss Jenny menyuruhku untuk memperkenalkan diri. Aku
mengedarkan pandanganku dan disudut sebelah kanan, disana aku melihat pria yang
sepertinya meminjamkanku kaset waktu itu berhenti memainkan gitarnya dan
melihat ke arahku. Setelah melihat wajahnya, benar dia pria itu. Selesai memperkenalkan diri. Aku
lalu duduk di kursi kosong yang ada ruangan itu dan segera menyiapkan gitar
yang aku bawa. Siswa disini menyambutku ramah dan aku menyukainya.
Diakhir pelajaran aku berjalan keluar, waktu sudah mulai
sore. Aku berjalan menghampiri pria itu, aku ingin berterima kasih padanya
sekaligus mengembalikan kaset yang ia pinjamkan. “Permisi.” kataku dan ia
menoleh ke arahku. “Ellie. Ada apa?” ia menyebut namaku.
“Aku ingin mengembalikan ini.” aku menyodorkan kaset itu.
“Kau sudah selesai? Kalau belum kau pakai dulu saja.” dia menatapku. “ Sudah.
Ini aku kembalikan. Terima kasih.” Dan sore itu kami pulang bersama. Ternyata
jalan rumah kami searah dan dia menemaniku pulang.
***
Lebih dari satu tahun aku berada di Washington, selama itu pula
aku mengenal Liam. Pria yang meminjamkanku keset waktu itu. Setelah kejadian
itu, aku semakin dekat dengannya. Kami selalu pergi ke kelas musik bersama.
Terkadang saat bersamanya aku sulit untuk mengendalikan diriku sendiri yang
sangat gugup.
Aku menyukainya. Liam. Pria yang selalu mengajariku bermain
gitar. Aku selalu merasa sangat gugup dan seperti tidak bisa bernafas ketika ia
memegang tanganku dan mulai mengajari kunci-kunci gitar yang belum aku kuasai. “Jari-jarimu
masih terlalu lembut untuk selalu bermain gitar.” katanya waktu pertama kali ia
memegang tanganku saat mengajari kunci baru. Aku melihat matanya yang indah.
Aku gugup dan selalu salah memainkan gitarku ketika itu.
Di pertengahan musim panas saat itu sedang libur kelas
musik. Entah kenapa ia mengajakku pergi ke studio musik sekolah yang sering
kami gunakan saat pelajaran musik. Ia menungguku di depan rumah. Liam
memamerkan kunci studio yang ada ditangannya sambil tersenyum kearahku. Aku
sedikit berlari menghampirinya.
Kami pergi ke studio menggunakan bus di cuaca yang sangat
panas. Di dalam bus, Liam menceritakan hal-hal lucu yang ia temui beberapa hari
terakhir dan tanpa sadar aku tertawa sehingga mengganggu penumpang yang
lainnya. Aku sedikit meminta maaf lalu kami (aku dan Liam) saling berpandangan
menertawakan apa yang baru saja kami lakukan. Entah kenapa aku selalu merasa
hanya ada kami berdua ketika bersama Liam. Seolah aku tak melihat siapapun
kecuali Liam berada di hadapanku.
Suasana di sekolah saat libur tidak terlalu sepi. Liam
terlihat begitu semangat sekali mengajakku ke studio. Setelah pintu terbuka,
Liam segera masuk dan duduk di tempat favoritnya lalu mengambil gitar yang
sudah ada di sana. Ia menyuruhku duduk di hadapannya. Ia bilang akan
menyanyikan lagu yang baru pertama kali ia buat. Aku gugup sekali mendengar
setiap lirik yang terlontar dari bibir Liam, aku memandanginya. Ia terlihat
lebih tampan saat bermain gitar seperti itu. Liam juga memiliki suara yang
bagus.
Aku bertepuk tangan ketika ia selesai menyelesaikan
lagunya. “Bagaimana?” tanyanya meminta pendapatku. “Bagus. Bagus sekali.” lagu
itu memang bagus dan aku tidak berbohong.
“Ellie. Aku akan menyanyikan lagu itu untuk seseorang... dan
aku sangat yakin dia akan menyukai laguku karena kau baru saja bilang laguku
bagus. Kau mengenal Emma? Aku akan menyanyikan lagu ini untuknya.” Aku terdiam.
Hatiku sakit saat aku mendengar ia akan menyanyikan lagu itu untuk orang lain.
Aku menjadi murung, melihat Liam yang mencoba mengulangi lagunya lagi. Ia
melihatku dan aku hanya tersenyum. Pantas saja ia tadi bersemangat sekali
mengajakku kesini.
Liam lalu menceritakan tentang Emma. Ia bilang, ia sedang
jatuh cinta. Ia begitu jatuh cinta dengan Emma dan aku berani bertaruh bahwa
Emma itu gadis yang cantik. Hatiku sangat sakit ketika ia bilang ia sangat mencintai
Emma. Perasaanku hancur saat itu juga. Aku ingin menangis tapi aku menahannya.
Di perjalanan pulang kami hanya diam, entah kenapa rasanya
menjadi canggung. Lalu aku bertanya kepadanya. “Liam. Kau tahu apa yang aku
pikirkan di malam hari?” aku menatap matanya. Ia terlihat berpikir “Mungkin orang
yang kau sukai?” tebaknya. ‘ya, dan orang
itu adalah kau’ tambahku dalam hati.
***
Beberapa hari kemudian aku pulang melewati koridor sekolah.
Dan saat itu juga aku melihat di depan sana Liam sedang berciuman dengan
seorang gadis yang aku percayai bahwa itu Emma. Aku seperti ingin menangis
melihatnya. Aku segera pulang dan kali ini aku pulang sendiri tanpa bersama
Liam seperti biasanya.
Dirumah ayah belum pulang. Aku menuju kamarku, duduk di
ranjang dan melihat fotoku bersama Liam yang diambil saat pertengahan musim
gugur, air mataku menetes. Aku segera menutup foto itu dan segera tidur.
Sudah beberapa jam aku mencoba tidur. Ayah bahkan sudah
pulang satu jam yang lalu. Aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan Liam yang membuatku
patah hati. Aku ingat kejadian saat pulang sekolah tadi dan aku meneteskan air
mataku.
Aku membuka jendela di tengah malam seperti ini, angin
malam menerpa wajahku. Dan tanpa aku sadari aku meneteskan air mataku lagi saat
memikirkan Liam. Aku bahkan tidak tahu saat ini aku menangis karena Liam atau
karena angin malam yang semakin kencang menerpaku.
Liam. Dia satu-satunya yang bisa menghancurkan hatiku. Aku
manatap bintang. Aku berharap bahwa Liam baik-baik saja, aku berharap semoga
gadis itu selalu menggenggam Liam dengan erat dan memberinya cinta. Aku mencoba
tidur lagi dan sepertinya kali ini tetap sama.
***
Aku bersiap tampil untuk pertunjukkan sekolah
memperlihatkan kemampuanku. Aku mengenakan dress berwarna biru selutut yang
juga memperlihatkan bahuku dengan rambut yang aku kucir kuda. Tidak lupa aku
membawa gitarku. Saat giliranku tiba, aku berjalan diatas panggung dan duduk di
kursi yang telah disediakan.
Aku mulai memainkan gitarku dan bernyanyi. Aku melihat Liam
diantara banyak siswa yang menikmati nyanyianku. Aku tersenyum mencoba
menyembunyikan yang sebenarnya pada Liam yang tengah menontonku sambil
merangkul bahu Emma di sisinya. Entah mengapa aku merasa lagu yang aku
nyanyikan begitu pas dengan diriku. Karena, dia yang telah membuat tetesan air
mata pada gitarku saat aku berharap pada bintang pengharapan.
‘He’s the reason for
the teardrops on my guitar
The only thing that
keeps me wishing on a wishing star’
Cerita ini terinspirasi dari lagu Taylor Swift - Teardrops On My Guitar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar