Sabtu, 21 Maret 2015

[CERPEN] He's in Love

image favim.com edited by me


Semua berawal sejak musim semi tahun lalu. Aku harus pindah tempat ke Washington karena perceraian ayah dan ibu. Ibuku yang akan menikah lagi dan aku menetap disini hanya bersama ayah. Sore itu aku pergi ke tempat penyewaan kaset yang baru aku kunjungi tiga hari setelah kepindahanku dikota ini. Aku mencari kaset yang aku inginkan, di toko itu sangat banyak sekali kaset dan aku berharap aku bisa menemukannya.
Jariku menyusuri beberapa kaset dan berhenti di kaset yang aku inginkan. Aku melihatnya. Tapi dengan gerakan cepat seseorang mengambilnya. Aku melihat wajah pria itu. Pria yang mengambil kaset yang ingin aku pinjam. Tubuhnya tinggi, ia mengenakan kaos abu-abu dengan mambawa tas gitar yang ada di pundaknya. Dia hanya tersenyum singkat lalu berjalan melewatiku dengan membenarkan tas gitarnya yang sedikit merosot. Aku baru tersadar ketika aku mencari kaset itu lagi dan sepertinya kaset yang dibawa pria itu adalah stock terakhir atau malah satu-satunya disini.
Aku segera berjalan menuju tempat peminjaman untuk menanyakan kaset yang aku inginkan. “Apa masih ada kaset Whitney disini? Aku ingin meminjamnya.” kataku sambil membenarkan posisi rambutku yang sedikit menutupi wajah. Disampingku, pria tadi masih berada disana, ia melihatku. Ia sepertinya sedang mendata kaset yang ia pinjam.
“Maaf, kami hanya memiliki 5 buah dan hari ini sudah tidak ada lagi. Mungkin beberapa hari kedepan sudah ada yang menembalikan.” jawab penjaga itu setelah megecek data yang ia punya. Mau bagaimana lagi, aku terpaksa harus meminjam yang lainnya, aku sudah meluangkan waktuku sore ini untuk mencari kaset itu dan aku tidak ingin waktuku terbuang sia-sia tanpa membawa pulang kaset apapun. Aku akhirnya mencari kaset yang lainnya, walaupun sebenarnya sedih sekali.
Setelah mendata apa yang aku pinjam aku berjalan ke luar. Membuka pintu kaca itu lalu menuruni beberapa tangga. “Permisi.” aku dengar ada seseorang yang sepertinya memanggilku. Aku menoleh ke arah kiri dan mendapati pria tadi yang sepertinya belum pergi dari sana sejak tadi. Ia menghampiriku.
“Aku menunggumu,” katanya, aku mengernyitkan dahiku bingung. Ia menyodorkan kaset yang tadi aku inginkan “Ini, aku akan meminjamkannya padamu.” lanjutnya. Aku mantapnya “Tidak, kau saja. Aku bisa meminjamkannya lain kali.” aku menolaknya meskipun sebenarnya aku sangat ingin sekali.
“Tidak. Aku tadi melihatmu menginginkan kaset ini.” katanya. Ia sepertinya merasa bersalah. Aku merasakan ia memegang tanganku dan memberikan kaset itu. “Kau bisa mengembalikannya seminggu lagi. Aku selalu pergi kesini setiap sabtu sore.” lanjutnya cepat, ia kemudian berbalik dan melangkah pergi. Aku bahkan belum sempat berterima kasih padanya, ia sepertinya terburu-buru.
***
Aku menyukai musik dan ayahku adalah seorang anggota pemain orkestra. Ayah selalu sibuk dengan orkestranya, mungkin itu yang membuat ibu bercerai dengan ayah. Ayah memasukkanku kesekolah musik yang ada di kota ini. Sekolah musik itu masih satu sekolah dengan sekolahku yang baru. Di kelas musik itu dibagi beberapa kelompok yang setiap kelompoknya hanya beranggotakan 10 orang dan aku berada di kelompok enam.
Hari rabu siang untuk pertama kalinya aku mengikuti kelas musik, tak lupa aku membawa gitar pemberian ayah. Benar. Disana hanya ada sembilan siswa dan sepuluh denganku. Yang mengajari kami musik adalah Miss Jenny, katanya dia juga teman ayah.
Miss Jenny menyuruhku untuk memperkenalkan diri. Aku mengedarkan pandanganku dan disudut sebelah kanan, disana aku melihat pria yang sepertinya meminjamkanku kaset waktu itu berhenti memainkan gitarnya dan melihat ke arahku. Setelah melihat wajahnya, benar dia  pria itu. Selesai memperkenalkan diri. Aku lalu duduk di kursi kosong yang ada ruangan itu dan segera menyiapkan gitar yang aku bawa. Siswa disini menyambutku ramah dan aku menyukainya.
Diakhir pelajaran aku berjalan keluar, waktu sudah mulai sore. Aku berjalan menghampiri pria itu, aku ingin berterima kasih padanya sekaligus mengembalikan kaset yang ia pinjamkan. “Permisi.” kataku dan ia menoleh ke arahku. “Ellie. Ada apa?” ia menyebut namaku.
“Aku ingin mengembalikan ini.” aku menyodorkan kaset itu. “Kau sudah selesai? Kalau belum kau pakai dulu saja.” dia menatapku. “ Sudah. Ini aku kembalikan. Terima kasih.” Dan sore itu kami pulang bersama. Ternyata jalan rumah kami searah dan dia menemaniku pulang.
***
Lebih dari satu tahun aku berada di Washington, selama itu pula aku mengenal Liam. Pria yang meminjamkanku keset waktu itu. Setelah kejadian itu, aku semakin dekat dengannya. Kami selalu pergi ke kelas musik bersama. Terkadang saat bersamanya aku sulit untuk mengendalikan diriku sendiri yang sangat gugup.
Aku menyukainya. Liam. Pria yang selalu mengajariku bermain gitar. Aku selalu merasa sangat gugup dan seperti tidak bisa bernafas ketika ia memegang tanganku dan mulai mengajari kunci-kunci gitar yang belum aku kuasai. “Jari-jarimu masih terlalu lembut untuk selalu bermain gitar.” katanya waktu pertama kali ia memegang tanganku saat mengajari kunci baru. Aku melihat matanya yang indah. Aku gugup dan selalu salah memainkan gitarku ketika itu.
Di pertengahan musim panas saat itu sedang libur kelas musik. Entah kenapa ia mengajakku pergi ke studio musik sekolah yang sering kami gunakan saat pelajaran musik. Ia menungguku di depan rumah. Liam memamerkan kunci studio yang ada ditangannya sambil tersenyum kearahku. Aku sedikit berlari menghampirinya.
Kami pergi ke studio menggunakan bus di cuaca yang sangat panas. Di dalam bus, Liam menceritakan hal-hal lucu yang ia temui beberapa hari terakhir dan tanpa sadar aku tertawa sehingga mengganggu penumpang yang lainnya. Aku sedikit meminta maaf lalu kami (aku dan Liam) saling berpandangan menertawakan apa yang baru saja kami lakukan. Entah kenapa aku selalu merasa hanya ada kami berdua ketika bersama Liam. Seolah aku tak melihat siapapun kecuali Liam berada di hadapanku.
Suasana di sekolah saat libur tidak terlalu sepi. Liam terlihat begitu semangat sekali mengajakku ke studio. Setelah pintu terbuka, Liam segera masuk dan duduk di tempat favoritnya lalu mengambil gitar yang sudah ada di sana. Ia menyuruhku duduk di hadapannya. Ia bilang akan menyanyikan lagu yang baru pertama kali ia buat. Aku gugup sekali mendengar setiap lirik yang terlontar dari bibir Liam, aku memandanginya. Ia terlihat lebih tampan saat bermain gitar seperti itu. Liam juga memiliki suara yang bagus.
Aku bertepuk tangan ketika ia selesai menyelesaikan lagunya. “Bagaimana?” tanyanya meminta pendapatku. “Bagus. Bagus sekali.” lagu itu memang bagus dan aku tidak berbohong.
“Ellie. Aku akan menyanyikan lagu itu untuk seseorang... dan aku sangat yakin dia akan menyukai laguku karena kau baru saja bilang laguku bagus. Kau mengenal Emma? Aku akan menyanyikan lagu ini untuknya.” Aku terdiam. Hatiku sakit saat aku mendengar ia akan menyanyikan lagu itu untuk orang lain. Aku menjadi murung, melihat Liam yang mencoba mengulangi lagunya lagi. Ia melihatku dan aku hanya tersenyum. Pantas saja ia tadi bersemangat sekali mengajakku kesini.
Liam lalu menceritakan tentang Emma. Ia bilang, ia sedang jatuh cinta. Ia begitu jatuh cinta dengan Emma dan aku berani bertaruh bahwa Emma itu gadis yang cantik. Hatiku sangat sakit ketika ia bilang ia sangat mencintai Emma. Perasaanku hancur saat itu juga. Aku ingin menangis tapi aku menahannya.
Di perjalanan pulang kami hanya diam, entah kenapa rasanya menjadi canggung. Lalu aku bertanya kepadanya. “Liam. Kau tahu apa yang aku pikirkan di malam hari?” aku menatap matanya. Ia terlihat berpikir “Mungkin orang yang kau sukai?” tebaknya. ‘ya, dan orang itu adalah kau’ tambahku dalam hati.
***
Beberapa hari kemudian aku pulang melewati koridor sekolah. Dan saat itu juga aku melihat di depan sana Liam sedang berciuman dengan seorang gadis yang aku percayai bahwa itu Emma. Aku seperti ingin menangis melihatnya. Aku segera pulang dan kali ini aku pulang sendiri tanpa bersama Liam seperti biasanya.
Dirumah ayah belum pulang. Aku menuju kamarku, duduk di ranjang dan melihat fotoku bersama Liam yang diambil saat pertengahan musim gugur, air mataku menetes. Aku segera menutup foto itu dan segera tidur.
Sudah beberapa jam aku mencoba tidur. Ayah bahkan sudah pulang satu jam yang lalu. Aku tidak bisa tidur. Aku memikirkan Liam yang membuatku patah hati. Aku ingat kejadian saat pulang sekolah tadi dan aku meneteskan air mataku.
Aku membuka jendela di tengah malam seperti ini, angin malam menerpa wajahku. Dan tanpa aku sadari aku meneteskan air mataku lagi saat memikirkan Liam. Aku bahkan tidak tahu saat ini aku menangis karena Liam atau karena angin malam yang semakin kencang menerpaku.
Liam. Dia satu-satunya yang bisa menghancurkan hatiku. Aku manatap bintang. Aku berharap bahwa Liam baik-baik saja, aku berharap semoga gadis itu selalu menggenggam Liam dengan erat dan memberinya cinta. Aku mencoba tidur lagi dan sepertinya kali ini tetap sama.
***
Aku bersiap tampil untuk pertunjukkan sekolah memperlihatkan kemampuanku. Aku mengenakan dress berwarna biru selutut yang juga memperlihatkan bahuku dengan rambut yang aku kucir kuda. Tidak lupa aku membawa gitarku. Saat giliranku tiba, aku berjalan diatas panggung dan duduk di kursi yang telah disediakan.
Aku mulai memainkan gitarku dan bernyanyi. Aku melihat Liam diantara banyak siswa yang menikmati nyanyianku. Aku tersenyum mencoba menyembunyikan yang sebenarnya pada Liam yang tengah menontonku sambil merangkul bahu Emma di sisinya. Entah mengapa aku merasa lagu yang aku nyanyikan begitu pas dengan diriku. Karena, dia yang telah membuat tetesan air mata pada gitarku saat aku berharap pada bintang pengharapan.

‘He’s the reason for the teardrops on my guitar
The only thing that keeps me wishing on a wishing star’


Cerita ini terinspirasi dari lagu Taylor Swift - Teardrops On My Guitar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar