If you love somebody, let them go, for if they return, they were always
yours. And if they don’t, they never were – Kahlil Gibran
Setiap malam aku berada disini, melihat bintang dilangit.
Seakan mereka yang menemaniku setiap malam, mejadi teman terindahku setiap malam.
Aku selalu berharap, aku dapat memiliki hal terindah dalam hidupku sebanyak
bintang yang selalu ku lihat di setiap malam, tapi aku selalu ingat bahwa bintang
akan terlihat indah ketika langit gelap. Seperti apa yang pernah dia ucapkan.
Entah sejak kapan perasaan ini tumbuh. Tumbuh menjadi lebih
indah tapi menyakitkan. Aku mengingat saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Saat masa orientasi siswa di SMA dulu, aku yang sakit dan dia yang mengobatiku.
Hiruk pikuk di sekitarku mulai terdengar jelas, rasa sakit di
kepalaku masih sedikit terasa. Seingatku tadi, aku masih mengikuti upacara
hingga semuanya menjadi gelap. Aku merasakan ada seseorang yang sedang mencoba
membuka dasiku. Saatku mulai membuka mata aku terkejut. “Aaa~ apa yang kau
lakukan?!” ucapku panik sambil menyentakkan tangannya yang mencoba membuka
dasiku. “Kau ini siapa?! Jangan macam – macam!” sambil menyilangkan tanganku di
depan dada aku sedikit berteriak. “Maaf, saya anggota PMR disini.” Mataku
menyipit, memang yang kulihat dia berpakaian rapi, cool dan dia sangat ramah.
Ternyata dia yang menolongku saat pingsan tadi.
Setelah aku diterima di sekolah itu, aku mulai masuk seperti
biasa. Dia Kak Reno, benar tenyata dia seniorku disini. Anggota PMR kelas XII.
Dia selalu tertawa kecil saat berpapasan di denganku, dia juga pernah bilang
saat aku berpapasan dengannya “Waktu itu kamu pura – pura atau pingsan beneran
sih? Masa orang pingsan bisa langsung teriak – teriak?” kata – kata itu masih
selalu tersimpan di ingatanku dan sedikit membuatku malu.
Angin malam semakin kencang, menerbangkan helaian rambutku
yang mulai panjang. Berterbangan kesana kemari seperti ingin bebas. Ku
tundukkan kepalaku melihat gemerlap lampu kendaraan di bawah sana, penuh dengan
warna warni. Kulangkahkan kakiku memasuki kamar lalu kurebahkan diriku di
tempat tidur, memejamkan mata. Bila aku diijinkan, aku ingin memelukmu, aku
ingin memilikimu walau sekali saja.
***
He who tries to forget
woman, never loved her
– Anonim
Jariku menyusuri setiap buku yang tertata rapi di toko ini,
mencari buku yang menjadi wishlistku minggu ini hingga ada seseorang yang
sedikit menabrakku dari samping. “Sorry. Aku tadi liat buku yang di atas, jadi
nggak liat kalo ada orang di samping.” Sambil menunduk dia meminta maaf. Tapi
tunggu sepertinya aku pernah melihat orang ini. Setelah kuperhatikan wajahnya
sesaat, ya, dia Kak Reno, seniorku sewaktu
SMA dulu, lebih tepatnya dia yang menolongku sewaktu pingsan dulu.
“Kak Reno?” ucapku dengan sedikit keraguan tapi senyum dibibirku sedikit merekah.
“Kamu kenal
aku?” ucapnya dengan dahi yang sedikit berkerut.
“Aku Maura,
yang dulu kamu tolong waktu SMA, masih inget?” kujulurkan tanganku mengajaknya
bersalaman.
“Maura? Yang
aku tolong banyak, soanya dulu pernah jadi PMR di sekolah.” Sambil menyipitkan
matanya dia membalas jabatan tanganku. Sepertinya dia lupa.
“Maura yang
waktu upacara terus pingsan itu.”
“Oh...yang
langsung teriak waktu sadar itu. Hahaha inget...inget....” aku sedikit
menggembungan pipiku, kenapa yang harus dia ingat waktu itu? Tapi dia masih
tetap ramah, wajahnya yang tampan akan semakin tampan lagi ketika tertawa
seperti itu.
“Kak Reno
disini mau cari apa?” tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
“Adikku
besok ulang tahun dan aku tau dia seorang book lovers. Jadi aku mau cari buku
buat dia. Kamu punya rekomendasi?” kuambil buku yang menjadi wishlistku minggu
ini yang tadi aku ambil dari rak sebelah.
“Ini Kak,
kakak kasih hadiah ini aja, pasti seneng deh.”
Percakapanku dengan Kak Reno sebulan yang lalu yang masih selalu berputar seperti film di bioskop. Setelah dia lulus SMA, aku tak pernah bertemu lagi dengannya. Hingga sebulan yang lalu aku bertemu dengannya di toko buku yang sering aku datangi.Kak Reno ternyata satu universitas denganku, tapi aku jarang bertemu dengannya karena kami beda fakultas. Dia ingin menjadi dokter sedangkan aku penulis.
***
A mighty pain to love
it is, and it’s a pain that pain to miss ; but of all pains, the greatest pain.
It is to love, but love in vain – Abraham Cowley
Aku berlari menaiki tangga. Berlari menuju ke atap salah satu
gedung di universitas ini. Kak Reno pernah bilang padaku bahwa dia sering
melihat bintang di malam hari di tempat ini, katanya dia ingin memiliki hal –
hal indah sebanyak bintang yang selalu dia lihat saat malam.
***
Nafasku masih tersenggal karena berlari, angin malam yang
dingin menerpa tubuhku mengalahkan rasa panas berkeringat yang kurasa. Kulihat
disana Kak Reno dengan seorang wanita duduk berdampingan. Perlahan aku berjalan
menghampiri mereka. “Kak Reno.” Mereka menoleh kebelakang. Wanita itu Kak
Anita... salah satu pegawai di toko buku yang biasanya aku datangi. Aku terdiam
bagai patung, kucoba menyembunyikan kado dan surat cinta valentine yang
kubungkus rapi untuk Kak Reno dibalik punggungku.
“Maura mau liat bintang juga?” kata Kak Anita lirih tapi masih terdengar olehku. Sedangkan Kak Reno hanya diam lalu mengalihkan pandangannya, sepertinya dia marah karena aku telah mengacaukan malam valentine ini.
“Maaf.” Sambil menundukkan kepala aku berjalan pelan mundur lalu berbalik dan berlari mulai menuruni tangga, tetes demi tetes air mataku meluncur dengan indahnya membasahi pipiku. Apakah ini cinta? Cinta yang sia – sia dan menyedihkan. Kak Anita memang cantik, wajahnya bak seorang bidadari, dia bekerja di toko itu hanya untuk mengisi waktu luangnya. Saat perjalanan pulang aku teringat percakapanku dengan Kak Anita beberapa waktu lalu.
“Kak bisa
bikin surat cinta?”
“Surat
cinta? Buat valentine nih?”
“I-iya”
kataku sedikit malu – malu.
“Buat siapa?
Cowok kamu? Atau gebetan kamu?”
Sebenarnya aku ingin membuat surat cinta untuk Kak Reno. Aku
ingin mengungkapkan perasaaanku selama ini padanya, tapi setiap kali aku
mencoba untuk membuat surat itu aku merasa gugup hanya karena membayangkan
wajah Kak Reno. Sepertinya aku ini penulis yang payah!
“Ahh~ aku
nggak punya cowok kak!”
“Berarti
buat gebetan nih?” aku mengangguk malu – malu.
“Kakak
pernah dapat surat cinta?”
“Pernah.”
“Seriusan?
Terus gimana? Jadian?” tanyaku mulai penasaran.
“Iya, abis
surat cintanya romantis banget sih” kata Kak Anita senyum – senyum.
“Siapa
orangnya? Cakep?”
“Dia sering
kesini kok, cakep lah... dia calon dokter! Keren kan?”
“Kakak hebat
bener bisa dapatin cowok calon dokter! Keren – keren!”
Aku baru sadar saat ini bahwa orang yang dimaksud Kak Anita adalah Kak Reno. Memang aku sering bertemu dengannya di toko buku itu setelah pertama kali kami bertemu disana.
Aku pulang dengan keadaan kacau yang langsung pergi ke kamarku.
Seperti biasa, aku berdiri di balkon rumahku lalu menatap bulan. Berharap bulan dapat menyampaikan rasa
rinduku padanya yang sekarang terlah bersama orang lain.
***
“We are like dominoes. I fall for
you, you fall for another. Aku ingin di setiap tulisanku tentangmu, tetesan air mataku, menjadi bukti cintaku padamu.” Kututup buku harianku lalu mulai memutar lagu yang menggambarkan
perasaanku hari ini.
Mungkin ini memang jalan takdirku
Mengagumi tanpa dicintai
Tak mengapa bagiku
Asal kau pun bahagia dalam hidupmu,
dalam hidupmu
Telah lama kupendam perasaan itu
Menunggu hatimu menyambut diriku
Tak mengapa bagiku
Mencintaimu pun adalah bahagia
untukku, bahagia untukku
Kuingin kau tau diriku disini menanti
dirimu
Meski kutunggu hingga ujung waktuku
Dan berharap rasa ini kan abadi untuk
selamanya
Dan ijinkan aku memeluk dirimu kali
ini saja
Tuk ucapakan slamat tinggal untuk
slamanya
Dan biarkan rasa ini bahagia untuk
sekejap saja *Ungu – Cinta Dalam Hati
Cerpen ini di ikut sertakan dalam kuis #PeopleLikeUsGA di @NovelAddict_